Lombok Timur, NTBZONE.COM - Di Hutan Lota, semua hewan sepakat pada satu hal: Singa adalah raja. Suaranya menggetarkan, surainya mengilap, dan cengkeramannya cukup membuat siapa pun diam. Ia memerintah sebuah Lumbung Bersama, tempat seluruh hewan menitipkan biji, madu, dan simpanan musim kering.
Namun, singa menyimpan rahasia yang hanya diketahui bayangan pohon tua.
Beberapa musim lalu, Sang Singa meminjam banyak simpanan dari Lumbung. Alasannya terdengar mulia untuk membangun peternakan kerajaan. Awalnya berhasil, tetapi suatu hari wabah menyerang kandang. Ternak roboh satu per satu. Simpanan pun ikut lenyap, dan hutang sang singa mengendap seperti lumpur di dasar sungai.
Musim berganti, dan kegaduhan pun pecah. Para kijang, burung, dan lebah mulai berbisik: biji-bijian di Lumbung berkurang, catatan penjaga tidak rapi, dan beberapa daun perhitungan terbang entah ke mana.
Sang Singa gusar. Bukan karena Lumbung bocor, melainkan karena suara-suara itu terdengar terlalu keras. Ia lalu memanggil Rubah penasihat paling licin di hutan, ahli merajut cerita dari benang tipis.
“Rubah,” kata singa, “siapa yang mengganggu ketenangan hutan ini? Mengapa Lumbung ribut, dan mengapa jejak-jejak lama mulai terbaca?”
Rubah tersenyum, ekornya menyapu tanah dengan tenang.
“Paduka,” katanya, “ini bukan soal Lumbung. Ini soal dendam. Mereka yang ribut adalah kawanan lama yang dulu tak mengaum saat Paduka dinobatkan.”
“Bukan karena biji hilang?” tanya singa.
“Tidak.”
“Bukan karena catatan berantakan?”
“Angin yang mengacaknya.”
“Bukan karena simpanan dipakai tanpa izin?”
“Fitnah burung malam.”
Singa mengangguk puas. Cerita itu hangat dan nyaman seperti tidur siang di bawah matahari.
Maka diumumkanlah ke seluruh hutan:
siapa pun yang mempertanyakan Lumbung adalah pengacau hutan.
Para hewan terdiam. Padahal mereka hanya ingin satu hal: agar Lumbung diperbaiki, agar biji mereka tidak menjadi jamuan rahasia di balik semak istana.
Namun di Hutan Lota, lebih mudah menyalahkan kawanan daripada menghitung ulang simpanan. Lebih aman menunjuk pemberontak daripada menutup lubang di Lumbung.
Dan sejak itu, kandang mungkin sudah kosong, biji mungkin terus menyusut, tetapi Rubah tetap sibuk menjahit cerita,
sementara Singa percaya,
bahwa bahaya terbesar hutan
bukanlah Lumbung yang bocor,
melainkan hewan yang berani bertanya.
Oleh : Amaq Abir

Social Header