Mataram, NTBZONE.COM - Kalau kita tarik ke belakang, tahun 1960 Bung Karno pernah bikin dunia heboh di PBB lewat pidato “To Build the World Anew”. Beliau lantang bilang; dunia ini udah bobrok karena perang dan penjajahan, jadi harus dibongkar dan dibangun ulang. Gagah banget kan? Bahkan Pancasila ditawarkan sebagai ide besar untuk dunia yang lebih adil. Bung Karno bener² nunjukin kalau Indonesia nggak cuma ikut-ikutan arus, tapi bisa kasih arah baru buat peradaban.
Fast forward ke 2025, giliran Prabowo yang berdiri di podium yang sama. Bedanya, isu yang dia angkat lebih ke ketidakadilan kontemporer: Palestina, perubahan iklim, pangan, dan keamanan global. Narasinya jelas: Indonesia siap bukan cuma ngomong, tapi juga bertindak. Bahkan sampai siap kirim pasukan kalau diminta PBB.
Nah, kalau kita bandingin dua momen ini, kelihatan banget: Bung Karno datang dengan ideologi besar, Prabowo datang dengan tawaran aksi nyata.
Sebagai anak muda, saya lihat ini menarik sekaligus bikin kita harus kritis. Bung Karno ngajarin kita pentingnya visi, bahwa bangsa kecil kayak Indonesia bisa punya suara lantang di tengah negara² adidaya. Sementara Prabowo menunjukkan pentingnya aksi kalau mau dihargai dunia, jangan cuma pamer idealisme, tapi juga tunjukin komitmen lewat langkah konkret.
Tapi, pertanyaan krusialnya, apakah narasi besar atau janji aksi itu beneran jalan di dalam negeri? Bung Karno bicara soal dunia baru tanpa penjajahan, tapi di dalam negeri kita masih sering ketemu bentuk “penjajahan” gaya baru: kemiskinan struktural, eksploitasi SDA, ketimpangan. Prabowo bicara siap bantu Palestina, ketahanan pangan, dan perubahan iklim. Tapi di rumah sendiri, kita masih berjuang lawan krisis iklim lokal, petani yang belum sejahtera, dan distribusi pangan yang kadang nggak merata.
Jadi menurut saya, kita nggak boleh cuma bangga karena presiden kita pidato keren di PBB. Itu memang penting, tapi yang lebih urgent adalah ngejagain biar narasi itu nggak berhenti di panggung internasional, melainkan juga menyentuh kehidupan rakyat sehari-hari.
Intinya, narasi besar itu perlu, aksi nyata juga perlu. Tapi keduanya harus sinkron dengan realitas rakyat. Karena percuma kita teriak soal “dunia baru” atau “solusi dua negara” kalau di dalam negeri rakyat masih berkutat dengan masalah lama: harga beras, ketimpangan, dan krisis lingkungan.
Oleh : Yudistira (Mahasiswa Pascasarjana Universitas Mataram)
Social Header