Lombok Timur, NTBZONE.COM - Hingga kini, perempuan warga Pulau Maringkik, Kabupaten Lombok Timur masih kesulitan akses air bersih. Kendati pemerintah setempat terus berupaya memperbaiki jaringan air bersih ke pulau nomor dua terpadat di NTB itu.
Jalan kampung di Dusun Maringkik Barat, Desa Maringkik, Kecamatan Jerwaru, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB), pada Ahad pagi, 13 Agustus 2025, mulai ramai. Lima perempuan tampak sibuk menyiapkan jeriken, bak dan ember untuk diisi air bersih dari pipa saluran Perusahan Daerah Air Minum (PDAM) Lombok Timur. Satu-persatu saling bergantian menuangkan air ke bak dan jeriken yang mereka jejerkan di lorong utama pulau itu.
Eliani, (39) tahun memindahkan pipa air berukuran 2 sentimeter ke jeriken miliknya, bersama 4 orang tetangganya, mereka bergantian mengambil air perusahaan air minum milik pemerintah daerah Lombok Timur persis di gang samping rumahnya.
Tiap dua kali sehari, pagi dan sore. Pipa air PDAM akan dialirkan ke tempat yang telah disepakati masing-masing kelompok pengguna air Pulau Maringkik. Satu jeriken air berisi 25 liter dengan harga sekitar Rp 1000 rupiah.
Jeriken dan bak yang sudah terisi air tawar akan disimpan di dapur dan samping rumah. Air tersebut, nantinya dipakai untuk kebutuhan sehari-hari keluarga, seperti, memasak, minum dan mandi.
“Hampir satu tahun ini, pipa air tak pernah macet, tapi debitnya kecil. Jika air tak mengalir, kami terpaksa membeli ke Desa Tanjung Luar,” kata Eliani, salah satu perempuan Pulau Maringkik saat ditemui di rumahnya pada Sabtu, 9 Agustus 2025.
Dalam kondisi persediaan air yang menipis dan sulit, ibu dua anak ini bersama perempuan Pulau Maringkik lainnya terpaksa harus membeli air ke Desa Tanjung Luar, Lombok Timur, pulau dengan jarak sekitar 5 kilometer dan jarak tempuh waktunya sekitar 35 menit dari Pulau Maringkik.
Selain untuk membeli kebutuhan air minum dan memasak sehari-hari, warga Pulau Maringkik juga harus membayar ongkos tambahan menyewa perahu ketinting pulang-pergi (PP). Sampan yang biasa mereka gunakan berukuran 2,5 meter dengan mesin rakitan pompa air.
Di atas sampan, masing-masing perempuan membawa jeriken kosong berisi 30 liter, mereka menerjang angin dan ombak untuk mendapat air bersih. Satu air galon berisi 19 liter dihargakan Rp 25.000 per galon.
“Tak ada pilihan lain, bila air pipa dan tanpa hujan tak turun. Kami terpaksa naik perahu ke Tanjung Luar atau ke pulau lain,” tuturnya.
Cerita yang sama juga alami, Na Ima, (64) tahun, warga Pulau Maringkik Selatan. Menurutnya, dulu air PDAM kerap macet, lantaran pipa bawah laut mengalami kebocoran. Sulitnya akses air bersih di Pulau Maringkik telah ia lalui sejak tahun 1970-an. Kala itu, ia baru saja berusia 11 tahun dan masih duduk dibangku sekolah dasar (SD).
Siang itu, perempuan yang akrab disapa pegiat kain tenun Maringkik tersebut sedang duduk di berugak (gazebo) berukuran 2x2 meter. Dapurnya berjarak sekitar 5 meter dari rumah panggung yang sedang ia bangun.
Dapur itu berukuran sekitar 4x6 meter persegi dan berdinding pagar bambu. Di dalamnya berjejer, jeriken berisi 30 liter, bak karet isi 20 liter dan tandon penampungan air warna hitam dengan isu 350 liter. Semuanya, berisi air bersih dari PDAM.
“Rentang satu tahun terakhir ini, air tak pernah macet, tapi tetesannya kecil sekali,” tuturnya.
Menurut Na Ima, kondisi debit air PDAM yang terbatas membuat ia dan keluarganya harus serba irit menggunakan air bersih. Na Ima dan suaminya berharap agar pemerintah setempat memperhatikan akses air bersih bagi warga warga Pulau Maringkik. Minimnya akses air bersih tersebut sangat menyulitkan kelompok perempuan, lansia dan anak-anak Pulau Maringkik.
“Pemerintah telah menyediakan akses air bersih, tapi belum maksimal. Terutama untuk kebutuhan perempuan lansia dan anak-anak,” ujar
Tak hanya keluarga Na Ima yang kesulitan akses air bersih, ribuan perempuan yang di Maringkik, menceritakan pengalaman yang serupa. Menurut dia, air bersih di Maringkik menjadi barang sulit. Karena terbatas, ia bersama warga Maringkik harus memanfaatkan air sumur dan hujan atau membeli air isi ulang ke Tanjung Luar.
Di Pulau Maringkik hanya terdapat satu sumur yang menjadi air tawar. Namun aliran air tawar tak selalu bisa diandalkan. Kerap kali sumurnya, terisi air asin. Sehingga warga setempat tak punya pilihan untuk menggunakan air sumur di masing-masing rumah mereka.
Selain dari air sumur, warga juga menampung air hujan dari penampung air buatan yang tersambung lansung ke talang air di atap semua rumah. Namun musim hujan tak selalu datang setiap waktu
Zaenab, (42) tahun, perempuan Pulau Maringkik asal Kecamatan Masbagik tak punya pilihan lain selain menunggu air PDAM dan mengambil air dari sumur. Sementara air hujan jadi pilihan terakhir. Menurutnya, air sumur tak seasin air laut.
“Kebutuhan air, bagi perempuan di Maringkik sangat banyak, jika ada air sumur dan hujan, baru kami pakai buat mencuci. Sedangkan air PDAM untuk masak dan mandi keluarga,” ujar Zaenab saat mengambil air di sumur.
Zaenab tinggal bersama empat orang dewasa dan dua anaknya yang masih balita dan satunya masih duduk dibangku kelas 4 sekolah dasar. Zaenab menikah dengan pria nelayan asli Pulau Maringkik. Usia pernikahanya sudah tahun kesepuluh. Ia tak berniat pergi dari Maringkik, meski menyadari krisis air bersih di Maringkik seperti tiada ujungnya.
“Kalau air PDAM macet, kami mencuci dan mandi seadanya. Apalagi musim kemarau, kami harus pergi membeli air seharga Rp 65.000 per satu tangki isi 500 liter ke Desa Tanjung Luar,” tutur Zaenab.
Riset yang dilakukan Baiq Herdina Septika, pengajar Universitas Mandalika Mataram (Undikma) tahun 2024, menyebutkan Pulau Maringkik menghadapi tantangan serius, seperti keterbatasan air, abrasi pantai, perubahan iklim dan ancaman air pasang dari Selat Alas dan Samudra Hindia.
Penelitian ini merekomendasikan untuk mengurangi krisis air bersih berkepanjangan di Pulau Maringkik, perlu adanya kolaborasi yang kuat antara masyarakat dan pemerintah. Sehingga kelompok perempuan, lansia, disabilitas dan anak-anak mendapatkan akses yang layak pada air bersih.
Data yang dikeluarkan Kementerian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Republik Indonesia dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 juga memperkirakan bahwa NTB masuk dalam wilayah yang kelangkaan air bersihnya terus meningkat hingga tahun 2030 dan kertersedian air di NTB diproyeksikan akan menjadi langka atau kritis pada tahun 2045.
Kepala Desa Maringkik, Nusapati mengatakan warga Pulau Maringkik mengalami keterbatasan air bersih. Meski air telah masuk aliran PDAM, tapi pada dasarnya belum mencukupi kebutuhan dan menyelesaikan kelangkaan air bersih di wilayahnya.
“Warga Maringkik hanya bisa mendapatkan beberapa liter air bersih saja. Kalau kebutuhan air untuk per-kepala keluarga masih belum mencukupi,” kata Kades Nusapati.
Menurutnya, keterbatasan akses air bersih tersebut memaksa warga harus rela berbagi dengan warga lainya, demi mendapatkan kebutuhan air untuk minum keluarga dan mencuci. Sementara untuk mandi dan kegiatan lainya, masih sangat kekurangan.
Ketersediaan air bersih, terutama untuk kebutuhan sehari-hari menjadi barang yang berharga. Meski sejumlah upaya telah dilakukan untuk menanggulangi kelangkaan air bersih, tapi belum maksimal.
“Kebutuhan warga Maringkik terhadap air cukup tinggi, soalnya setiap hari harus turun melaut. Sehingga mereka harus selalu mengunakan air,” ujarnya.
Sementara itu, untuk sambungan pipa air tawar bawah laut dari daratan kabupaten Lombok Timur ke Pulau Maringkik telah terpasang sejak sekitar 1990 tahun silam, yang waktu itu di resmikan Menteri Pekerjaan Umum (PU) Republik Indonesia, Radinal Mochtar.
“Ukuran pipa bawah laut itu 2 sentimeter. Sehingga jumlah air bersih yang mengalir cukup kecil” ujarnya Kades Maringkik ini.
Belakangan ini, warga desa Maringkik menyadari pipa bawah laut itu belum pernah diganti sejak pemasangan. Atas kesadaran bersama warga desa Maringkik merawat pipa bawah laut dengan memperbaiki kerusakan pipa. Nusapati bersama warga berkali-kali mengeluhkan agar pipa bawah laut itu di ganti Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Timur.
“Waktu itu Pemda Lotim, akan usahakan secepatnya agar pipa bawah laut Maringkik diperbaiki,” kata Kades Pulau Maringkik ini.
Tak hanya itu, kelangkaan air bersih di Maringkik dalam beberapa tahun terakhir juga disebakan air pipa bawah laut terbagi ke berbagai wilayah, seperti Gili Ree, Gili Bleq dan Telong-Elong, sehingga debit air makin sedikit.
Cerita berbeda datang dari Kecamatan Masbagik, Lombok Timur. Berjarak sekitar 34 kilometer dari Pulau Maringkik, Sariati (36) warga Dusun Saruk, Masbagik Utara, bercerita pengalamannya mendapat fasilitas layanan akses air bersih.
Di rumah Sariati, air bersumber dari layanan PDAM Pemerintah Lombok Timur dan sumur lokal. Saat kran pipa macet, ia lansung mengunakan air sumurnya. Dalam satu bulan, ibu satu anak ini melunasi tagihan PDAM sebesar Rp 50.000 sampai Rp 60.000 ribu rupiah.
“Selama ini, air PDAM ngalir terus, paling kalau macet. Hanya 30 menit, berikutnya mengalir lagi,” ujarnya Sariati.
Bagi Sariati, ketersediaan akses air bersih adalah kebutuhan mendesak, terutama bagi kelompok perempuan di desa dan pesisir. Tanpa akses air bersih yang layak, perempuan akan kesulitan menyelesaikan pekerjaannya, baik dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya.
“Sulitnya air bersih, akan menambah beban. Perempuan harus berusaha lebih keras demi air bersih,” tuturnya
Pelaksana Tugas (PLT) Direktur PDAM, Lombok Timur, Sopyan Hakim mengatakan kelangkaan air di wilayah Lombok selatan membuat pemerintah daerah Lombok Timur melakukan percepatan penyambungan jaringan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) pantai selatan. SPAM pantai selatan telah diserah terima ke PDAM Lombok Timur.
“SPAM pantai selatan bisa mendekatkan akses air bersih di wilayah selatan. Terutama warga Pulau Maringkik. Tak terkecuali juga buat kelompok perempuan,” ujar Sopyan.
Menurut Sopyan, saat ini sumber mata air Instalasi Pengelolaan Air (IPA) yang bersumber di Kotaraja berkisar 50 liter per detik dari kapasitas 150 liter per detik. Ia optimis air bersih yang disalurkan ke IPA Kotaraja tersebut akan mengalir hingga ke Pulau Maringkik.
“PDAM Lotim berkomitmen memberikan pelayanan terbaik pada masyarakat dalam akses air bersih. Terutama bagi kelompok perempuan dan anak-anak,” tegasnya saat ditemui di kantor PDAM Lotim, 15 Agustus 2025.
Proyek SPAM ini adalah proyek strategis nasional pemerintah pusat dalam mengatasi krisis air bersih di kawasan selatan Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Proyek ini sudah diresmikan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan diserahkan ke Bupati Lombok Timur, H. Hairul Warisin pada pertengahan bulan Maret 2025.
Kepala Bidang Pencegahan Pengendalian Penyakit dan Kesehatan Lingkungan (P3KL) Dinas Kesehatan, Kabupaten Lombok Timur, Budiman mengatakan kelangkaan akses air bersih pada kelompok perempuan dan anak-anak secara tidak lansung berdampak bagi kesehatan dan tumbuh kembang anak-anak.
Ia menyebutkan sosialisasi penggunaan air bersih bagi kelompok perempuan dan anak-anak di wilayah pesisir tetap dilakukan bersama Dinas Kesehatan, Lombok Timur dan lembaga non-pemerintah lokal maupun nasional, seperti kader posyandu dan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI).
“Air bersih dan sanitasi layak terus kami dorong agar kesadaran tentang kesehatan reproduksi perempuan dan tumbuh kembang anak-anak kian baik,” ujar Budiman.
Akademisi Universtas Islam Negeri (UIN) Mataram, Atun Wardatun saat ditemui di Gedung Fakultas Syariah mengatakan, akses air bersih bagi perempuan, masyarakat adat komunitas rentan di NTB harus menjadi perhatian bersama. Terutama di wilayah-wilayah pesisir.
“Akses air bersih jadi kebutuhan dasar perempuan, tak terkecuali juga bagi anak-anak,” ujarnya pakar Gender UIN Mataram ini.
Menurut Atun Wardatun, saat terjadi krisis air bersih akibat perubahan iklim, perempuan menjadi salah satu kelompok yang paling rentan, apalagi mereka memiliki keterbatasan ekonomi dan mengemban peran ganda di keluarga, baik dalam pengasuh utama, penyedia kebutuhan makan dan memastikan ketersedian air bersih di rumah tangga.
“Saat krisis air bersih, potensi kekerasan pada perempuan makin tinggi, termasuk hak kesehatan, kesehatan reproduksi mereka terabaikan,” tegas Atun.
Bagi Atun Wardatun, situasi perempuan dalam krisis air bersih adalah pengabaian hak dasar perempuan. Padahal dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 pasal 5 tentang Sumber Daya Air menyatakan bahwa Negara menjamin hak setiap orang untuk memperoleh air guna memenuhi kebutuhan pokok minimal sehari-hari, yang bertujuan untuk mencapai hidup yang sehat, bersih dan produktif.
Direktur La Rimpu ini juga mempertegas lewat penjelasanya soal pentingnya akses air bersih bagi warga negara lewat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 yang menyatakan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Atun mengatakan dua undang-undang tersebut menjadi pijakan pemerintah provinsi dan kepala daerah untuk memberikan fasilitas akses air bersih dan sanitasi yang sehat serta layak bagi kelompok perempuan dan komunitas rentan.
“Air bersih itu adalah hak dasar semua warga, tak terkecuali juga bagi perempuan dan anak-anak di wilayah pesisir,” tutur Guru Besar UIN Mataram tersebut.
Marsya M. Handayani, Kepala Divisi Tata Kelola Lingkungan Hidup dan Pengendalian Penceraman dari Indonesian Journal of Environmental Law (ICEL) juga memperkuat terkait pentingnya melibatkan perempuan dalam tata kelola air bersih. Ia lebih lanjut menjelaskan soal tanggung jawab perusahaan untuk melakukan uji tuntas Hak Asasi Manusia (HAM) atau human rights due diligence (perusahaan identifikasi, mitigasi dan pertanggungjawaban dengan pendekatan HAM.
“Tahap awal proyek, perusahaan harus libatkan kelompok perempuan, terutama dampak bisnis HAM-nya,” ujar Marsya.
Marsya menegaskan, akses air bersih merupakan bagian dari HAM yang sangat penting diperhatikan bagi perusahan. Jika perusahaan tidak menganalisis dampaknya sejak awal. Maka ada resiko serius pemenuhan hak kelompok perempuan dan anak-anak dalam akses air bersih.
“Perempuan harus didengar, diberi penjelasan dan dipertimbagkan pendapatnya,” tergasnya.
Hal senada juga diungkapkan Ketua Gerakan Masyakat Cinta Alam (Gema Alam) NTB, Haiziah Gazali menyebutkan kelangkaan akses air bersih bagi kelompok perempuan dan anak-anak akan berdampak pada kesehatan fisik perempuan itu sendiri. Hasil pemantauan lapangan Gema Alam NTB pada kelompok perempuan di wilayah Lombok Selatan menunjukkan, minimnya air bersih membuat perempuan semakin rentan oleh berbagai masalah.
“Kelangkaan air bersih tak hanya berdampak pada kesehatan fisik perempuan, tapi juga menambah beban ganda bagi perempuan itu sendiri,” ujarnya perempuan yang akrab disapa Ziko ini.
Ziko mengatakan, kelompok perempuan yang belum maksimal mendapatkan akses air bersih. Harus menjadi tugas pemerintah daerah untuk mendekatkan akses yang berkeadilan dan setara bagi perempuan dan anak-anak di wilayah Pulau Lombok, khususnya di Gili Maringkik.
“Akses yang setara dan berkeadilan pada kelompok perempuan, disabilitas, lansia dan anak-anak di Maringkik harus tetap kita dorong,” ujar Ketua Gema Alam NTB ini. (Ahyar ros).
Social Header